Apakah Menahan Diri dari Perbuatan Sia-Sia dan Keji Termasuk dalam Definisi Puasa yang Sempurna?
- Updated: Desember 16, 2025
![]()

8. Apakah Menahan Diri dari Perbuatan Sia-Sia dan Keji Termasuk dalam Definisi Puasa yang Sempurna?
Jawaban:
Ya, meskipun secara fikih tidak membatalkan puasa, menahan diri dari perbuatan sia-sia, dusta, dan keji adalah bagian dari kesempurnaan dan hakikat puasa yang sesungguhnya.
Pembahasan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum.” (HR. Bukhari). Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din menjelaskan bahwa puasa memiliki tiga tingkatan: puasa umum (menahan lapar/dahaga), puasa khusus (menahan seluruh anggota badan dari dosa), dan puasa khusus dari yang khusus (menahan hati dari selain Allah). Puasa yang sempurna mencakup semua tingkatan ini.


Landasan utama pandangan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat jelas dan tegas:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa esensi puasa yang diterima Allah bukan sekadar menahan haus dan lapar, tetapi terwujudnya ketakwaan hakiki yang melindungi lisan, pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota badan dari kemaksiatan.
Imam Al-Ghazali dalam mahakaryanya, Ihya’ ‘Ulumuddin, mengklasifikasikan puasa dalam tiga tingkatan yang sangat mendalam:
- Puasa Awam (Shaum al-‘Umum): Hanya menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan secara fisik. Ini adalah tingkatan dasar yang wajib dipenuhi.
- Puasa Khusus (Shaum al-Khusus): Menahan seluruh anggota badan dari dosa dan perbuatan sia-sia. Mata dijaga dari melihat yang haram, telinga dari mendengar keburukan, lisan dari dusta, ghibah, dan perkataan kotor, serta tangan dan kaki dari perbuatan maksiat. Inilah hakikat puasa yang sempurna (shaum al-kamil).
- Puasa Khusus dari yang Khusus (Shaum Khusus al-Khusus): Menahan hati dari segala keinginan selain Allah dan dari pikiran-pikiran duniawi yang rendah. Ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.
Pandangan serupa dianut oleh para imam mazhab. Meski fikih mereka berfokus pada batasan-batasan fisik puasa, mereka semua menekankan pentingnya dimensi akhlak ini. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menyatakan bahwa ghibah dapat merusak pahala puasa, meski tidak membatalkannya. Imam Ahmad bin Hanbal juga menegaskan bahwa puasa bukan hanya menahan makan dan minum, tetapi juga menahan lisan dari perkataan kotor dan perbuatan yang sia-sia.
Al-Qur’an sendiri, dalam surah Al-Baqarah ayat 183, menetapkan tujuan puasa adalah mencapai ketakwaan (la’allakum tattaqun). Takwa tidak mungkin tercapai jika seseorang masih berkubang dalam perbuatan keji, dusta, dan kesia-siaan. Puasa adalah madrasah untuk melatih pengendalian diri (imsak) secara total, yang manifestasinya harus melampaui sekedar fisik.
Oleh karena itu, puasa yang sempurna adalah puasa integratif yang menggabungkan kesempurnaan lahir (menahan yang membatalkan) dan kesempurnaan batin (menahan yang mengurangi pahala dan merusak hakikat). Puasa jenis inilah yang akan membentuk pribadi yang bertakwa dan menghasilkan “furuq” (pembeda) sebagaimana dijanjikan, yaitu pembeda antara perilaku dalam dan luar bulan Ramadhan. Dengan demikian, menjaga lisan dan anggota badan dari hal sia-sia dan keji bukan sekadar pelengkap, melainkan syarat substansial untuk meraih hakikat dan kesempurnaan puasa itu sendiri.





















































